Sebagai hamba yang beriman, tentu kita
tidak akan menelan semua sistem yang berlaku di masyarakat secara
mentah-mentah. Kita sepakat, tidak semua praktek bisnis yang tersebar di
masyarakat, telah memenuhi standar halal secara syariat. Karena itu,
sangat penting, ketika anda hendak melakoni suatu sistem bisnis
tertentu, terlebih dahulu anda harus memahami hakekatnya dan hukumnya.
Apa itu Dropship?
Dropshipping diyakini sebagai model jual
beli yang paling mudah dalam dunia online. Pasalnya, bisnis ini bisa
dilakoni nyaris tanpa modal. Wajar jika sistem ini paling banyak
digandrungi para netter. Barangkali artikel ini tidak akan panjang lebar
untuk membahas apa itu dropshipping, kami yakin pembaca sudah lebih
familier dengan sistem ini.
Ada 3 pihak yang terlibat dalam transaksi di atas,
1. Dropshipper
Dia adalah pihak pemilik barang, baik produsen, toko, maupun agen barang.
Dia adalah pihak pemilik barang, baik produsen, toko, maupun agen barang.
2. Reseller
Penjual online yang menawarkan barang orang lain kepada para konsumen.
Penjual online yang menawarkan barang orang lain kepada para konsumen.
3. Buyer
Konsumen yang membeli barang dari buyer.
Konsumen yang membeli barang dari buyer.
Sebelumnya, ada satu istilah yang
mungkin perlu diluruskan terkait siapakah dropshipper. Yang lebih tepat,
dropshipper bukanlah pelaku bisnis online yang menawarkan barang ke
konsumen. Beberapa situs berbahasa inggris yang mengupas tentang
dropshipping menegaskan bahwa dropshipper adalah pemilik barang, baik
dia produsen, toko, atau agen. Sedangkan pihak yang menawarkan barang
itu adalah reseller.
Selanjutnya, kita akan kembali meninjau sistem di atas.
Dari ketiga aktor di atas, pihak yang
menyimpan tanda tanya besar adalah reseller. Ada beberapa catatan
penting dari aktivitas reseller:
1. Reseller menjual barang kepada orang lain, tanpa memiliki obyek transaksi itu. Karena barang itu murni milik dropshipper.
2. Reseller sama sekali tidak memegang
barang tersebut. Barang langsung dikirim ke buyer, sementara reseller
sama sekali tidak berurusan barang tersebut.
3. Dropshipper mengirim barang ke buyer atas nama reseller.
4. Reseller bukan agen dari pemilik barang. Bukti bahwa reseller bukan agen:
- Untuk menjadi reseller, anda tidak perlu mendaftar untuk menjadi agen.
- Reseller bisa menjualkan barang dari berbagai klien dropshipper yang berbeda tanpa ada batas.
- Reseller menetapkan harga sendiri, dengan keuntungan tertentu sesuai yang dia inginkan.
Dari beberapa catatan di atas, kita bisa
memastikan bahwa sejatinya reseller dalam hal ini telah menjual barang
yang tidak dia miliki. Setelah ada permintaan, reseller hanya memesan ke
dropshipper untuk mengirim barang ke buyer. Otomatis segala resiko
selama proses pengiriman menjadi tanggung jawab dropshipper. Dus,
reseller berada di posisi sangat aman, hanya mungkin mendapatkan
keuntungan dan nyaris tidak menanggung kerugian sepeserpun, selain
tanggung jawab moral kepada konsumen.
Mau Untung, Harus Nanggung Rugi
Terdapat satu kaidah penting terkait transaksi dalam muamalah. Kaidah itu menyatakan,
إنما الخراج بالضمان
Sesungguhnya keuntungan yang diperoleh seseorang, sebanding dengan kerugian yang ditanggung.
Kaidah ini berdasarkan hadis dari A’isyah radhiyallahu ‘anha,
bahwa ada seorang sahabat yang membeli budak. Setelah beberapa hari
dipekerjakan, dia menemukan aib pada si budak. Kemudian, si pembeli
mengembalikan kepada penjual. Si penjual menerima, namun si pembeli
harus menyerahkan sejumlah uang senilai harga sewa budak selama di
tangan pembeli. Akhirnya mereka meminta keputusan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda:
الخراج بالضمان
“Keuntungan itu sepadan dengan kerugian yang ditanggung.” (HR. Ahmad, Nasai, Abu Daud, Turmudzi dan dihasankan Al-Albani).
Mari kita perhatikan hadis di atas,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggugurkan kewajiban si pembeli untuk membayar biaya sewa budak selama dia pekerjakan. Karena ketika si budak ini berada di tangan pembeli, dia menjadi tanggung jawab pembeli. Andaikan budak ini mati, pembeli akan menanggung kerugian. Untuk itu, si pembeli berhak mendapatkan keuntungan dalam bentuk memperkajan budak itu selama dia di tempatnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggugurkan kewajiban si pembeli untuk membayar biaya sewa budak selama dia pekerjakan. Karena ketika si budak ini berada di tangan pembeli, dia menjadi tanggung jawab pembeli. Andaikan budak ini mati, pembeli akan menanggung kerugian. Untuk itu, si pembeli berhak mendapatkan keuntungan dalam bentuk memperkajan budak itu selama dia di tempatnya.
Kaidah ini berlaku untuk semua transaksi
dan hubungan antara seseorang dengan sesama. Syariat tidak mengizinkan
ada satu posisi yang hanya mungkin menerima untung saja, tanpa
sedikitpun menanggung resiko ketika terjadi kerugian. Jika ada transaksi
sementara prinsipnya hanya mungkin menerima untung tanpa menanggung
resiko rugi, bisa dipastikan transaksi itu bermasalah.
Karena itulah, syariat mengharamkan
transaksi riba. Seperti yang kita saksikan, dalam transaksi riba,
kreditor dalam posisi sangat aman, dia hanya mungkin mendapatkan
keuntungan tanpa menanggung resiko kerugian.
Sebaliknya, syariah membolehkan
transaksi bagi hasil atau mudharabah. Karena dalam transaksi ini,
sohibul mal (pemilik modal) menanggung resiko rugi ketika usaha yang
dijalankan mudharib (pelaku usaha) mengalami kerugian. Anda juga bisa
memberi catatan kebalikannya, jika ada transaksi mudharabah, sementara
sohibul mal minta agar modal dikembalikan ketika usaha gagal, maka ini
termasuk riba dan kesepakatan terlarang, karena sohibul mal pasti dalam
posisi aman dan hanya mungkin mendapatkan keuntungan.
Kita kembali pada kasus dropship. Dalam
sistem di atas, reseller berada pada zona 100% aman. Dia sama sekali
tidak menanggung resiko kerugian. Karena tanggung jawab teradap barang,
menjadi resiko dropshipper selaku pengirim barang atas nama reseller.
Anehnya, dalam kesempatan yang sama, reseller mendapatkan keuntungan
dari transaksi yang dia lakukan. Dengan menimbang kaidah di atas, kita
bisa menyimpulkan bahwa keuntungan reseller dalam hal ini bermasalah.
Menjual Barang yang Tidak Dimiliki
Diantara aturan syariah lain yang
menjadikan sistem ini bermasalah adalah hadis yang melarang menjual
barang yang tidak dia miliki.
Dari Hakim bin Hizam radhiyallahu ‘anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Ada orang yang datang kepadaku dan meminta agar aku mendatangkan
barang yang tidak aku miliki. Bolehkah saya beli barang ke pasar,
kemudian saya jual ke orang ini?” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
“Janganlah kamu menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Ahmad, Nasai, Abu Daud, Turmudzi, Ibn Majah, dan dishahihkan Al-Albani).
Kemudian dari Thawus, beliau mendapat cerita dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ طَعَامًا حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ
Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang menjual makanan sampai dia terima semua makanan itu dari penjual pertama.
Thawus kemudian bertanya kepada Ibnu Abbas, “Mengapa bisa demikian?”
Jawab Ibnu Abbas,
ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ
Yang terjadi adalah menjual uang dengan uang, sementara makanannya tertunda. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam keterangan yang lain, Ibnu Abbas menegaskan,
وَلاَ أَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا مِثْلَهُ
“Saya yakin semua barang berlaku seperti itu.” (HR. Ahmad dan Bukhari).
Artinya, itu tidak hanya berlaku untuk makanan, namun untuk semua barang dagangan.
Mari kita simak hadis diatas dan
keterangan Ibnu Abbas. Orang yang menjual barang yang belum dia miliki
dilarang secara syariat, karena hakekatnya dia menjual uang dengan uang.
Ibnu Hajar membuat ilustrasi sebagai berikut,
Si A membeli dari si X kamera seharga 3 jt. Sebelum dia menerimanya, si A menjual kamera itu kepada si B seharga 4 jt, sementara kamera masih di tangan si X. Yang terjadi, seolah-olah si A menjual uang 3 juta dengan uang 4 juta. (Simak Fathul Bari, 4/349).
Si A membeli dari si X kamera seharga 3 jt. Sebelum dia menerimanya, si A menjual kamera itu kepada si B seharga 4 jt, sementara kamera masih di tangan si X. Yang terjadi, seolah-olah si A menjual uang 3 juta dengan uang 4 juta. (Simak Fathul Bari, 4/349).
Kita tarik kepada kasus dropshipper di
atas. Reseller pada posisi tersebut membeli barang ke dropshipper,
setelah dia mendapat pesanan dari buyer. Barang sama sekali tidak
disentuh oleh reseller, bahkan melihatpun tidak. Reseller membeli barang
senilai 100 rb misalnya, dan dia mendapat uang senilai 120 rb dari
buyer. Seolah reseller menjual uang 100 rb dengan 120 rb. Demikian
pendekatan kasus dropshipping dengan hadis di atas.
Andaipun reseller mendatangi
dropshipper, dan dia ingin menjual barang milik dropshipper ke buyer,
dia harus membawa barang itu pulang terlebih dahulu, kemudian baru dia
kirim ke buyer. Disamping hadis Ibnu Abbas di atas, dalil lain yang
menunjukkan kesimpulan ini adalah hadis Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى
يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رحالهم
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang menjual barang di tempat dia membeli barang tersebut,
sampai para pedagang memindahkan barang itu ke tempatnya. (HR. Abu Daud,
Ibn Hibban dan dihasankan Al-Albani)
Solusi dan Alternatif
Anda para aktivis bisnis online tidak
perlu berkecil hati. Jika anda tidak bisa menggunakan sistem
dropshipping, masih ada seribu cara untuk mencari uang melalui internet
dengan jalan yang halal tanpa harus keluar banyak modal. Berikut
beberapa alternatif bisnis online modal tipis yang bisa anda lakukan,
Pertama, pemberi layanan pengadaan barang
Relasi yang luas atau kemampuan
pengadaan barang yang memadai, memungkinkan Anda menawarkan jasa ke
orang lain untuk pengadaan barang yang mereka butuhkan. Anda berhak
meminta imbalan, dengan nominal yang jelas dan disepakati di awal akad.
Misal, Anda menjadi supplier restoran tertentu untuk kebutuhan barang
tertentu. Anda berhak mendapat upah dari restoran tersebut. Pada kasus
ini, anda murni menjual jasa kepada klien anda.
Kedua, menjadi agen atau distributor resmi
Pada posisi ini, anda layaknya tangan
panjang pemilik barang atau produsen. Karena secara prinsip status anda
adalah wakil bagi pemilik barang. Anda bisa melakukan transaksi dengan
cara apapun, baik offline atau online, sebagaimana Anda juga dibenarkan
untuk menjualnya secara tunai atau secara kredit dengan harga yang Anda
tentukan atau sesuai kesepakatan.
Tentu saja, untuk bisa menjadi agen,
anda harus melalui beberapa tahapan sesuai dengan aturan keagenan yang
ditetapkan oleh pemilik barang.
Dalil masalah ini adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
المُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ
Kaum muslimin itu sesuai persyaratan yang mereka sepakati. (HR. Bukhari secara muallaq, Abu Daud, Ahmad dan yang lainnya).
Ketiga, lakukan transaksi salam
Perniagaan dengan skema akad salam
merupakan kebalikan akad kredit. Jika pada akad kredit, barang
diserahkan lebih dulu dan uang menyusul, pada transaksi salam, uang
diberikan terlebih dahulu, sementara barang menyusul.
Ibnu Abbas mengatakan,
Ibnu Abbas mengatakan,
أشهد أن السلف المضمون إلى أجل مسمى أن الله
أحله وأذن فيه، ثم قرأ: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
Saya bersaksi bahwa jual beli salam yang
dijamin sampai batas waktu tertentu adalah akad yang Allah halalkan dan
Allah izinkan. Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat, yang artinya, “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kalian melakukan transaksi utang
sampai batas waktu tertentu maka catatlah…” (HR. At-Thabari dalam
tafsirnya, 6/45).
Sementara dalil dari hadis, bahwa Ibnu Abi Aufa radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
كُنَّا نُسْلِفُ نَبِيطَ أَهْلِ الشَّأْمِ فِي الحِنْطَةِ، وَالشَّعِيرِ، وَالزَّيْتِ، فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Dahulu di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
kami memesan gandum, sya’ir (gandum mutu rendah), dan minyak zaitun,
dengan ukuran yang jelas dan tempo penyerahan yang disepakati dari para
pedagang Negeri Syam. (HR. Al-Bukhari)
Berdasarkan beberapa riwayat di atas,
yang perlu anda perhatikan, ketika anda hendak melakukan transaksi
salam, uang harus dibayar tunai dan waktu penyerahan barang harus jelas
di depan.
Mungkin ada yang mempertanyakan, apa bedanya dengan sistem dropshipping yang lazim dilakukan?
Pada transaksi salam, pelaku bisnis
(reseller) harus membeli obyek transaksi itu dari pemilik barang secara
sempurna, sampai terjadi serah terima. Artinya barang sudah berpindah
tangan ke pihak reseller. Kemudian barulah reseller sendiri yang
mengirim barang ke buyer atas nama dirinya. Dalil hal ini adalah hadis
dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى
يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رحالهم
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melarang menjual barang di tempat dia membeli barang tersebut, sampai
para pedagang memindahkan barang itu ke tempatnya. (HR. Abu Daud, Ibn
Hibban dan dihasankan Al-Albani)
Tidak dibenarkan hanya uang muka
Bagian tak terpisahkan dalam bisnis
online adalah barang yang menjadi obyek transaksi hanya bisa
diserah-terimakan setelah selang beberapa waktu. Karena itu, ketika
pembeli hanya memberikan uang muka kepada penjual online, yang terjadi
adalah transaksi yang sama-sama terutang. Sementara secara hukum,
transaksi ini termasuk transaksi bermasalah.
Dalil hal ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
Dalil hal ini adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْكَالِئِ – وَهُوَ بَيْعُ الدَّيْنِ بِالدَّيْنِ -
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang melakukan transaksi al-kali’ – yaitu jual beli utang dengan utang. (HR. Abdurrazaq 14440).
Meskipun ada sebagian ulama menilai
hadis ini tidak shahih, namun mereka sepakat bahwa jual beli utang
dengan terutang adalah terlarang.
Diantara ulama yang menilai lemah hadis
masalah ini adalah Imam Ahmad bin Hambal, karena dalam sanadnya terdapat
perawi yang bernama Musa bin Ubaidah. Berikut kutipan keterangan
beliau,
ولا يحل الرواية عن موسى بن عبيدة ولا أعرف
هذا الحديث من غير موسى وليس في هذا حديث صحيح وانما اجماع الناس على أنه
لا يجوز دين بدين
Tidak halal menerima riwayat dari Musa
bin Ubaid. Saya tidak mengetahui hadis semacam ini dari selain Musa. Dan
tidak ada hadis sahih satu pun tentang larangan menjual utang dengan
utang, akan tetapi kesepakatan ulama telah bulat bahwa tidak boleh
memperjual-belikan utang dengan utang. (Al-Ilal Al-Mutanahiyah, 3/600).
Allahu a’lam. (Oleh: ustadz Ammi Nur Baits)
(Sumber: www.PengusahaMuslim.com)
0 komentar:
Posting Komentar
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarkatuh,,,
Mohon teman2 yang mengunjungi blog ini untuk meninggalkan sepatah dua patah kata pada blog ini. Syukron