I.
PENDAHULUAN
Manusia
adalah makhluk sosial yang diciptakan oleh Allah SWT. Di dalam berinteraksi
antar sesamanya selalu mempunyai hubungan dan tidak bisa sendiri-sendiri.
Manusia sangat bergantung sekali dengan manusia lainnya atau butuh teman, kawan
atau makhluk lain maka manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang
lain. Bagaimana kalau seorang manusia mau makan tentu dia butuh beras untuk
dimasak maka tentu dia harus membelinya di pasar atau dia harus menanamnya maka
dia perlu bibit dan pupuk yang diperoleh dari orang lain.
Di
dalam berhubungan antar manusia sangat dibutuhkan aturan-aturan. Selain aturan
itu datang dari Allah SWT dan Sunnah RasulNya diperlukan juga bahan-bahan yang
lain, yang intinya mendatangkan kebaikan bagi manusia.
Hubungan
yang dimaksud juga berarti saling bertransaksi dan dalam setiap kegiatan
kehidupan atau ekonomi sangat memerlukan transaksi. Dalam ekonomi ada yang kita
kenal dengan Transaksi Keuangan. Segala aspek aktifitas ekonomi memerlukan
transaksi keuangan. Karena label ekonomi kita telah berubah menjadi ekonomi
Islam maka dalam transaksi keuangan mutlak diperlukan transaksi yang Islami dan
diridloi oleh Allah SWT. Maka Transaksi Keuangan itu harus mempunyai landasan
yang kuat dan benar. Berasal dari sumber yang haq dan tayib.
Aturan itu harus mempunyai rujukan hukum yang jelas. Dari semua rujukan hukum
itu maka secara penamaan kita namakan kaidah fiqh atau hukum syariat yang
jelas. Dalam bertransaksi keuangan hendaklah ada kaidah fiqh yang kita pakai
agar transaksi itu syah dan tayib tadi.
Pembahasan
makalah ini sesuai dengan judul yang diperoleh dari Dosen Pembimbing maka dibatasi
hanya terhadap tentang Qaidah Fiqh dan Qaidah Ushuliyah serta perbedaannya, Niat
dan Motivasi dalam Kontrak yang harus benar, Konsep Menghilangkan Mudharat yang
harus dikedepankan, Aturan Relaksasi Hukum yang tidak memberatkan, Status Adat yang
masih relevan untuk dapat dipakai dan Keyakinan versus Keraguan. Jadi ada enam
sub pokok pembahasan yang akan kami uraikan dalam makalah ini yang akan
menambah wacana kita semakin jelas dan lebih mengerti lagi tentang ekonomi
Islam.
II.
PEMBAHASAN
A.
Qaidah Fiqh dan Qaidah Ushuliyah
Qawaid
Fiqhiyyah
(kaidah-kaidah fiqh) atau kaidah-kaidah hukum Islam menempati posisi yang
sangat penting dalam literatur Hukum Islam. Ia merupakan bentuk khusus
literatur Hukum yang berkembang pada abad ke 13 hingga abad ke 15, yang mencoba
meringkas aturan-aturan dari setiap mazhab ke dalam ringkasan-ringkasan pendek
sehingga orang yang mempelajari kaidah-kaidah ini dapat dengan mudah
menghafalnya. Dalam bentuk ekstrim, begitu ringkasnya satu mazhab dapat
direduksi menjadi empat atau lima pernyataan padat.[1]
Sedangkan
definisi dari Qawaid Fiqhiyyah dapat kita temukan dari pandangan para
ulama fiqh yang terkenal dan di antaranya adalah : Syekh Mustafa Ahmed Zarqa
seorang ulama fiqh terkemuka mendefinisikan qawaid fiqhiyyah sebagai :
“Prinsip-prinsip fiqh universal yang dirumuskan ke dalam bentuk hukum yang
padat, melambangkan ketentuan-ketentuan umum terhadap kasus-kasus yang berada
di bawah topik-topik tertentu”.[2]
Ali Hayder, seorang yang terkenal karena uraiannya (syarahnya) terhadap Al-Majallah
telah mendefinisikannya sebagai : ”Aturan menyeluruh atau utama yang dibutuhkan
untuk mengetahui hal-hal khusus”.[3]
Salim Rustum Baz, pensyarah Majallah lainnya telah mendefinisikannya
sebagai : “Aturan menyeluruh atau utama yang dapat diterapkan pada semua atau
sebagian besar kasus-kasus khusus”.[4]
Muhammad Anis Ubadah menawarkan bahwa “Qawaid Fiqhiyyah adalah konsep
universal di mana ketetapan-ketetapan dari berbagai perkara hukum yangb berada
di bawah konsep universal tersebut diturunkan”.[5]
Penulis kontemporer lainnya mendefinisikan Qawaid Fiqhiyyah sebagai
“suatu prinsip umum di mana ketentuan-ketentuan khusus dapat langsung
diketahui”.[6]
Sementara
itu fungsi utama dari ilmu Qawaid Fiqhiyyah dari seluruh aturan-aturan
yang universal dan menyeluruh tersebut diidentifikasi, dikonsolidasi dan
dikelompokkan menjadi aturan-aturan yang tematik atau sesuai dengan fungsi
masing-masing aturan itu sebenarnya atau dengan kata lain aturan yang sifatnya
umum bisa dikhususkan untuk topik-topik tertentu.
Sedangkan status hukum Qawaid
adalah merupakan bantuan hukum yang bisa menjadi pedoman bagi ahli-ahli hukum
dalam mengeluarkan suatu fatwa atau oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara
sepanjang tidak melenceng dari Alquran, Sunnah Rasul atau prinsip-prinsip umum
hukum Islam.
Perbedaan
antara Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah (Qaidah Fiqh) adalah, Ushul
Fiqh menaruh perhatian utama pada aturan-aturan menterjemahkan teks hukum
dan metodelogi yang diikuti untuk menurunkan suatu aturan dari teks hukum. Ushul
Fiqh merupakan suatu metode yang diterapkan untuk menurunkan aturan-aturan
umum dari sumber-sumber asli. Misalnya, aturan “Amr (Komunikasi dalam
bentuk perintah) merupakan kewajiban” adalah suatu qaidah ushuliyah. Semua
amalan wajib seperti mendirikan sholat, membayar zakat dan memenuhi perjanjian
diturunkan dari aturan ini. Aturan itu diterapkan pada semua perbuatan yang
status hukumnya wajib dalam Islam.
Di
sisi lain, Qawaid Fiqhiyyah diekstrapolasi dari ketentuan-ketentuan fiqh
dan menitik beratkan pada upaya mengidentifikasi analogi hukum dan
mengelompokkannya ke dalam judul yang sesuai. Aturan “Suatu yang membahayakan
harus dihilangkan” misalnya adalah kaidah fiqh yang memasukkan semua ketentuan
dalam hukum Islam di mana menghapuskan hal-hal yang membahayakan
dititikberatkan oleh syariah seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan
kompensasi terhadap pengrusakan harta seseorang, hukum mengganti kerugian,
hukum Qisas, Hukum pre-emption (dalam istilah fiqh disebut “Syuf’ah”
yaitu hak prioritas untuk membeli terlebih dahulu), likuidasi, hak membatalkan
kontrak dan lain-lain.[7]
Selain
Qawaid ada juga istilah Dabitah. Dabitah adalah
memfokuskan penerapannya dalam topik-topik yang induvidual. Sementara Qawaid
atau Qaidah adalah satu aturan yang umum yang dapat diterapkan pada
semua spesifikasi yang terdapat dalam beberapa bab Fiqh. Misalnya ada Kaidah
“Suatu perbuatan dinilai dari niat di balik perbuatan itu” yang diterapkan pada
berbagai bidang seperti ibadah, transaksi, hukum kriminal dan lain-lain.
Sumber
dan asal Qawaid dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori :
1.
Qawaid yang diturunkan dari teks Alquran dan
Hadis Rasulullah SAW. Contohnya, kaidah ‘Dasar dari segala perbuatan adalah
maksud perbuatan tersebut” diturunkan dari hadist yang terkenal : “Innamal
A’malu binniyat (yang artinya : “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung
pada niatnya)”.[8]
Begitu juga dengan kaidah “Kesulitan dapat memunculkan kemudahan” didasarkan
pada sejumlah ayat Alquran yang memberikan suatu kemudahan ketika mengalami
keadaan sulit. Seperti tercantum dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 185 yang
berbunyi :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
﴿١٨٥﴾
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Dan Surat Al-Hajj ayat 78 yang berbunyi :
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ مِن قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيداً
عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
﴿٧٨﴾
078. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah
dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah
kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong.
2.
Qawaid yang aslinya adalah hadist Rasulullah
SAW, namun kemudian lebih dikenal sebagai kaidah-kaidah hukum antara lain :
a.
Siap menerima untung berarti siap menerima rugi
الخراج بالضمان
b.
Setiap hutang yang membawa keuntungan bagi yang
meminjamkannya adalah Riba
كل قرض جر نفعا فهؤ ربا
c.
Jangan menjual apa yang tidak engkau miliki
لاتبع ما ليس عند ك
3.
Qawaid yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan
fiqh, tersebar dalam beberapa bab berbeda pada kitab-kitab fiqh.
4.
Qawaid yang berasal dari Ushul Fiqh
(yaitu prinsip-prinsip hukum Islam) yang diturunkan oleh ulama fiqh yang
berasal dari ketentuan Alquran dan Sunnah antara lain contohnya :
a.
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan
keragu-raguan” atau Istishab yang terkenal dalam hukum Islam
اليقين لا يزول بالشك
b. “Adat kebiasaan itu merupakan hakim” atau prinsip Urf
العادة محكلمة
c.
Ijtihad tidak berlaku apabila adan nushush (teks
Alquran atau Hadist yang menjelaskan hukum itu)
الاجهاد لاينقض بمله
B.
Niat dan Motivasi dalam Kontrak
Dalam
melakukan kerjasama atau transaksi hendaklah kita mulai dengan niat yang baik.
Apabila niat itu selaras dengan niat Allah atas transaksi itu maka perbuatan
tersebut menjadi sah, tetapi apabila niat itu tidak selaras dengan niat Allah
maka perbuatan tersebut tidak sah.
Niat
dan motivasi menentukan sifat dasar yang sebenarnya dari suatu akad, disamping
menentukan status hukum dalam hal sah atau tidak sahnya suatu perbuatan.
Sehingga ketika suatu hadiah atau donasi yang diberikan bertentangan dengan
beberapa ketentuan maka akad itu akan berubah menjadi akad jual-beli dan bukan
lagi akad hadiah walaupun namanya Hadiah atau Donasi. Begitu juga dengan akad hawalah
(pendelegasian hutang). Jika orang yang berhutang masih memliki kewajiban untuk
melunasi hutangnya disamping orang yang menggantinya, maka akad tersebut jatuh
pada akad Kafalah meskipun nama akadnya Hawalah. Sama halnya
dalam kerjasama Mudharabah jika ada ketentuan yang menyatakan bahwa
pihak yang menyediakan modal akan memperoleh semua keuntungannya maka akad itu
disebut Mudharabah tapi akad hutang.[9]
Sebagai
contoh dari suatu kontrak ditentukan oleh tujuan dan maksud kontrak tersebut
adalah giro di bank komersial. Para ulama kontemporer memperlakukan giro
sebagai suatu kontrak hutang daripada kontrak wadiah atau amanah
disebabkan karena kontrak wadiah harus memenuhi syarat bahwa sebagai
titipan di tangan orang yang dipercaya dengan tujuan menjaga keamanan dan tidak
ada keharusan suatu kewajiban atau misalnya apabila barang yang dititipkan itu
rusak bukan karena kecerobohan maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya,
kemudian adalah bahwa titipan tersebut tidak dapat dipakai oleh orang yang
menerima amanah tersebut. Tetapi apabila barang wadiah tersebut dipakai
oleh si pemegang amanah dengan seizin yang punya maka kontrak wadiah
berubah menjadi kontrak hutang, kontrak agensi atau kontrak kerjasama.
Dan
bagaimana dengan giro pada di Bank Syariah ? Ternyata hal yang ditemukan adalah
sangat kontras dari prinsip Wadiah yakni sebagai berikut :
1.
Bank Syariah menggunakan uang yang dititipkan
dan tidak berlaku dalam kasus Wadiah.
2.
Bank Syariah mencampur adukkan uang titipan itu
dengan tabungan yang lain.
3.
Bank Syariah selalu menjamin pengembaliannya
dengan aman, atau bank menanggung semua kewajiban dan resiko terkait uang yang
dititipkan.
4.
Bank Syariah tidak mengembalikan uang yang sama
tetapi uang lain dalam jumlah yang sama.
Oleh karena giro membentuk hubungan pemberi
hutang dan penghutang antara nasabah dan bank maka tidak dibolehkan bagi bank
untuk memberikan layanan ekstra kepada nasabah karena hal itu dihitung sebagai
Riba. Hal ini telah dilarang dalam suatu prinsip yang terkenal : ‘Setiap hutang
yang memberikan manfaat adalah Riba”. Dalam konteks transaksi hutang, uang jasa
yang diberikan kepada pemberi hutang dapat membuka pintu untuk riba. Jadi atas
dasar prinsip Sadd al-dara’i (Menutup segala cara yang membuka pintu
kemungkaran) hal ini harus dihindari.
Beberapa kontrak yang tidak dibenarkan adalah
sebagai berikut :
1.
Bay’ al Inah; adalah menjual barang
secara kredit dengan harga tertentu dan kemudian membelinya kembali secara
kontan dengan harga yang lebih murah dari harga kredit, di mana kedua transaksi
terjadi pada waktu yang bersamaan.
2.
Tawaruq; adalah suatu transaksi
di mana seorang yang membutuhkan uang membeli suatu barang secara kredit dari
orang tertentu dan kemudian menjualnya ke pasar secara kontan dengan harga di
bawah harga beli sebelumnya dari pemilik barang.
3.
Bay’ bil Wafa; merupakan transaksi di
mana seseorang yang membutuhkan uang menjual suatu barang kepada pembeli dengan
syarat kapan saja si penjual mau maka si pembeli tadi harus mengembalikan
barang yang dibelinya kepadanya dengan harga pembelian semula.
4.
Hiyal; alat/strategi hukum yaitu menghilangkan
hak atau menguatkan yang salah yang pada sisi lain selalu digunakan dengan niat
dan tujuan untuk menghindari larangan syariah.
5.
Sadd Al-Dara’i; mencegah
atau menutup proses yang tujuannya haram atau dilarang yang sebenarnya
merupakan pencegahan suatu kemungkaran sebelum terjadi. Persoalan niat untuk
memperoleh hasil tertentu tidak dapat menimbulkan hasil tersebut
C.
Konsep Menghilangkan Mudharat
Ketentuan-ketentuan
ini pada umumnya berfungsi sebagai tindakan pencegahan terhadap kemungkinan
terjadinya mudarat dan mencegah mudarat itu sebelum terjadi. Dan beberapa
penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut :
1.
Hukum Pencegahan (Hajr)
Hukum Islam telah membuat
batasan-batasan terhadap muatan-muatan akad dari suatu pihak yang memiliki
karakter membahayakan orang lain dan batasan-batasan terhadap transaksi yang kemungkinkan
besar membahayakan orang lain. Tindakan mencegah seseorang dari transaksi
tersebut disebut hajr dalam hukum Islam. Hajr adalah mencegah orang tertentu dari menyia-nyiakan hartanya.
Hukum pencegahan diwajibkan syariah untuk menyelamatkan hak dan kepentingan masyarakat
yang diakibatkan oleh karakter orang-orang tertentu.[10]
Alasan-alasan penting dari pencegahan tersebut adalah :
a.
Safah atau pemborosan dalam hukum Islam merujuk pada
penyalahgunaan harta seseorang yang berlawanan dengan akal dan syariah dengan
cara menghabiskannya tanpa tujuan yang benar atau menggunakan harta secara
berlebihan di luar kebutuhan meskipun realitasnya rasional bagi orang tersebut.
b.
Orang
yang mengalami penyakit yang mematikan dilarang melakukan transaksi atas
seluruh harta yang dimilikinya karena dia harus memikirkan kepentingan ahli
warisnya. Sebagai contoh transaksi searah yang dilakukannya adalah memberikan
donasi, waqaf, infaq dan sedekah yang hanya dibatasi pada sepertiga dari
hartanya. Dan jika dia mempunyai hutang maka dilarang melakukan donasi karena
harta yang ditinggalkannya itulah sebagai pembayar hutangnya kelak. Dan untuk
transaksi dua arah (timbal balik) maka terlarang untuk membatalkannya karena
kepentingan sang pasien lebih utama daripada kepentingan ahli waris.
c.
Orang
yang telah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan maka terlarang baginya untuk
mempergunakan hartanya karena hartanya itu adalah untuk melindungi hak kreditor
(pemberi piutang) dan mencegah membuat transaksi yang membahayakan kreditor.
2.
Law of
Pre-emption
Tujuan utama mengakui hak pre-emption
adalah untuk menhindari berbagai bahaya yang dapat terjadi pada pemilik atau
tetangga dengan masuknya orang ketiga dari luar. Hak Pre-Emption
mempunyai dasar justifikasi :
a.
Kesulitan
dan ketidaknyamanan dari suatu kepemilikan bersama lebih dipentingkan daripada
pembeli asing (pihak luar) dan merelakan orang asing masuk boleh jadi membuat
partner kita meninggalkan hartanya karena ketidaknyamanannya.
b.
Konsepsi
demokrasi dalam hukum waris cenderung untuk membagi-bagi harta keluarga maka
hak pre-emption untuk mencegah kejahatan yang timbul karena
membagi-bagikan harta tersebut.
c.
Sharaya-ul-Islam dimana pembagi-bagian akan menyebabkan kerugian dan
kerusakan.
d.
Hedaya adalah memberikan hak untuk mencegah ketidaknyamanan yang
timbul
3.
Melanjutkan
Kontrak Bagi Hasil Sampai Masa Panen Tiba
Kontrak tersebut tetap berlanjut walau salah satu atau kedua
belah pihak meninggal dunia. Hal ini untuk mencegah terjadi kemudaratan.
4.
Kewajiban
Pekerja Tempahan
Bahwa para pekerja tetap harus memenuhi kewajibannya sampai
pekerjaan selesai dan wajib mengganti apabila terjadi kerusakan.
5.
Penalti/denda
atas gagal bayar dalam pembiayaan Murabahah
Untuk mencegah atau menghilangkan kemudharatan ada beberapa
ketentuan yaitu : pertama; Khiyar al-‘ayb (hak untuk membatalkan kontrak
karena barangnya cacat), kedua; Khiyar al-gabn (hak untuk membatalkan
kontrak karena penipuan), ketiga; Penghentian kontrak karena beberapa keadaan.
D.
Aturan Relaksasi (Keringanan) Dalam Hukum Islam
Hukum-hukum syariah didasarkan atas kenyamanan,
keringanan dan menghilangkan kesulitan dari masyarakat. Syariah telah
memperhatikan keadaan khusus di mana suatu penderitaan harus diatasi dalam
rangka menyediakan kemudahan bagi mereka yang berada dalam kesulitan.[11]
Kaidah ini menyatakan bahwa dalam kasus tertentu,
demi menjaga kepentingan dasar dan kebutuhan masyarakat, hukum asal yang ketat,
yang menyebabkan kesulitan yang sulit dibayangkan dapat diringankan. Dalam
keadaan mendesak, keluasaan diperbolehkan. Dan kaidah ini mencakup semua keadaan yang memerlukan suatu konsensi hukum
dari hukum asalnya, agar pemenuhan kewajibaan dapat terlaksana dan dalam
kapasitas seorang manusia normal.[12]
Kaidah ini dapat juga diterapkan pada semua konsensi
hukum yang didasari oleh sebab-sebab seperti perjalanan, sakit, tekanan,
kelalaian, kesulitan umum (‘umum
a-balwa), cacat fisik dan lupa. Secara umum, kaidah ini membolehkan keringanan
dari aturan asal dalam kasus darurat dan kebutuhan (hajat).[13]
Kaidah ini meliputi : Keadaan darurat dan kebutuhannya serta keadaan Hajat
(kebutuhan) dan akibatnya.
Keadaan darurat terbagi menjadi dua yaitu :
1. Darurat dalam pengertian khusus; merupakan suatu kepentingan esensial
yang jika tidak dipenuhi, dapat menyebabkan kesulitan yang dahsyat yang membuat
kematian. Untuk mengilustrasikan hal ini, dapat diambil contoh
daging babi yang dilarang bagi seseorang muslim untuk memakannya. Jika
seseorang yang sekarat karena kelaparan mengikuti larangan ini dan menjaga diri
dari tidak memakan babi atau bangkai, dia bisa mati kelaparan. Jadi memakan
babi bagi seorang yang sekarat karena kelaparan dibolehkan atas dasar kebutuhan
yang mendesak.[14]
2. Darurat dalam pengertian umum ini pengertiannya lebih luas merujuk pada
suatu yang esensial untuk melindungi dan menjaga tujuan-tujuan syariah. Dapat
diamati bahwa perhatian utama dari defenisi darurat menurut Syatibi adalah
untuk melindungi tujuan-tujuan dasar syariah, yaitu :
a. Menjaga dan melindungi agama,
b. Menjaga dan melindungi nyawa,
c. Menjaga dan melindungi keturunan,
d. Menjaga dan melindungi akal,
e. Menjaga dan melindungi kesehatan,
f. Menjaga dan melindungi kemuliaan serta kehormatan
diri.
Jadi, menurut defenisi
ini, segala sesuatu yang membantu merealisasikan tujuan-tujuan dasar syariah
ini adalah darurat. Dan darurat harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut
yaitu :
a. Darurat harus nyata, bukan spekulatif dan imajinatif
b. Tidak ada solusi lain yang ditemukan untuk mengatasi penderitaan kecuali
keringanan itu
c. Solusi harus tidak menyalahi hak-hak sakral yang memicu pembunuhan,
pemurtadan, perampasan harta atau bersenang-senang dengan sesama jenis kelamin
d. Harus ada justifikasi kuat melakukan keringanan
e. Harus benar-benar hanya itulah solusi yang tersedia
3. Keadaan Hajat dan Akibatnya. Sama dengan darurat yaitu hajat yang
menerapkan keringanan terhadap hukum asal dan memberikan alasan untuk berbeda
darinya. Hajat terdiri dari dua jenis, hajat
amah dan hajat khassah. Syatibi mendefenisikan hajat sebagai suatu
kepentingan yang kalau dipenuhi akan menghilangkan kesusahan dan kesulitan, dan
kalau tidak dipenuhi akan membuat hilangnya tujuan-tujuan yang dimaksud. Jadi,
jika jenis kepentingan ini tidak dipenuhi, maka segala sesuatu yang terkait
dengan aturan-aturan syariah pada umumnya akan mengalami kesulitan dan
kesusahan, tapi hal ini tidak dianggap sebagai penyebab kekacauan yang
diprediksi sebagai hasil dari tidak terpenuhinya kepentingan yang esensi ini.
Contoh kebutuhan yang selangkah lebih maju dari derajat kebutuhan adalah
bolehnya kontrak salam ( pembelian barang dengan uang di muka dan pengiriman
barang belakangan ), Istisna’ (kontrak memproduksi suatu barang atas
dasar pesanan), bay’ bil wafa’ (penjualan dengan hak penebusan),
pinjaman, ijarah dan lain-lain.
E.
Status Adat
Adat kebiasaan memberikan suatu dasar (dalil) bagi
keputusan pengadilan di mana seorang hakim mempunyai alternatif dalam
menghakimi suatu perkara. Adat kebiasan ini juga memberikan bantuan dan
bimbingan interpretasi yang menolong seorang hakim untuk menginterprestasikan
ketentuan-ketentuan hukum dari Alquran dan Sunnah.[15]
Misalnya untuk memastikan, besarnya perbedaan antara harga pasar dengan harga
aktual dalam suatu transaksi khusus, didasarkan pada praktik perdagangan dan
masyarakat yang terlibat dalam transaksi serupa.
Ulama Fiqh terdahulu membingkai sejumlah hukum yang
telah dipertimbangkan atas dasar kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat pada zamannya. Beberapa dari hukum-hukum itu diganti oleh ulama fiqh
belakangan, ketika mereka menemukan bahwa kebiasaan yang mereka dasarkan
atasnya tidak ada lagi.
Misalnya, zaman terdahulu gandum dan jelai diukur
dalam istilah Mudd dan Sha’
(dua pengukuran kapasitas benda). Tapi, sekarang gandum dan jelai itu
diukur beratnya secara umum. Jadi, perhitungan apapun, apakah untuk dagang,
pembayaran ushr, sedekah, atau
kafarat, semuanya dilakukan dalam bentuk satuan berat yang umum dipakai.
‘Urf juga memiliki peranan dalam riba al-fadl. Riba al-Fadl adalah suatu
kelebihan yang dihasilkan melalui kriteria syariah (yaitu pengukuran atau
berat). Dalam hukum Islam klasik, jika dua pihak menukar satu mudd gandum
dengan dua mudd gandum, mereka dikatakan telah melakukan Riba al-Fadl. Tapi sekarang, sejak gandum diukur dengan berat, maka
Riba al-Fadl akan terjadi hanya
ketika, katakan 5 kg gandum ditukar dengan 8 kg gandum. Seperti itulah ulam
fiqh menerjemahkan kriteria syariah dalam defenisi di atas berkenan dengan
pengukuran kapasitas.
Pada masa
lalu, jual-beli hak-hak yang abstrak dan harta yang tidak berwujud dilarang
oleh ulama fiqh. Namun sekarang, praktik perdagangan telah berubah. Hak-hak
yang abstrak dan tidak berwujud seperti hak cipta, hak paten, dan lain-lain,
diberlakukan sebagai komoditi yang dapat diperjual belikan. Ulama Fiqh modern
telah menetapkan bahwa hak-hak ini dapat dijual dan dibeli seperti harta
berwujud lainnya.
F.
Keyakinan Versus Keraguan
Aturan dengan keyakinan versus keraguan dan
pandangan untuk meneruskannya, yang dinyatakan oleh kaidah, mencakup semua
kasus di mana suatu konflik antara
keberadaan sesuatu di masa lalu dan keraguan akan keberlangsungannya. Kaidah
ini menyatakan bahwa aturan hukum dari sesuatu yang dibangun dengan sebuah
keyakinan akan terus berlanjut, dan keraguan tidak akan mempengaruhi
kedudukannya, karena kedudukan yang telah dibangun itu adalah suatu pernyataan
kepastian, dan pandangan yang merubah kedudukan itu (keraguan) akan ditiadakan
atau dihapuskan.[16]
Para pemikir muslim
telah mengelompokkan derajat pembuktian dalam persoalan keyakinan versus
keraguan ini ke dalam 5 kategori: yaqin (yakin), ghalabatudz-dzann (berprasangka kuat), zann (prasangka), syak (ragu-ragu),
dan wahm (bisikan hati). Mereka
membolehkan menyandarkan praktik hukum-hukum syariah pada tiga kategori
pertama. Konssep kepastian telah tercantum dalam kaidah dasar dan sejumlah
kaidah pelengkap.
Makna dari kaidah dasar
yang disebutkan diatas, bahwa begitu sesuatu didasarkan atas keraguan, maka hal
itu, hanya bisa dibatalkan melalui bukti tertentu yang seimbang. Atas dasar
prinsip ini, harta waris tidak dapat dituntut dari seorang yang hilang, karena
dugaannya ia masih hidup sepanjang tidak ada bukti yang menyatakan bahwa ia
sudah meninggal dunia. Disini, dalam kasus ini, hidupnya orang-orang yang
hilang dibangun dari fakta, yang tidak dapat ditolak hanya berdasarkan keraguan
dan kematiannya. Oleh karena itu, hartanya tidak dapat dibagikan kepada ahli
warisnya berdasar keraguan ini. Jika terdapat bukti yang menyatakan ia
meninggal dunia, maka hartanya dapat diwariskan kepada kerabatnya.[17]
III.
KESIMPULAN
Hukum
Islam (Fiqh) adalah satu dari sistem hukum yang sangat berkembang dalam sejarah
manusia, baik dalam hal kedalamannya maupun keluasan aplikasinya. Fiqh
menduduki tempat yang penting dalam budaya hukum ummat manusia secara
keseluruhan . Tidak seperti banyak tradisi hukum lainnya, Fiqh telah memulai
sistemasi hukum dan formulasi kaidah-kaidah hukum-hukumnya sendiri pada awal
mula dari tahap perkembangannya.
Dalam
kaitannya dengan kegiatan ekonomi, hukum Islam (Fiqh) ini merupakan salah satu
dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan
dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah
fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala
tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada
dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan
dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada
di dalam dalil Islam (Alquran maupun Hadist), maka hal tersebut adalah
diperbolehkan dalam Islam.
Kaidah
fiqih dalam muamalah yang ditulis di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan
muamalah yang notabene urusan
ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja yang bisa
memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama
hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada
Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum
a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa
dalam urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu,
Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan
hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini
memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya
untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya
berkenaan dengan fungsi manusia sebagai khalifatul-Llah
fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).
Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah
adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah,
termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam
fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi
tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar
prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam.
[1] Knut S. Vikor, Betwen God and Sultan, A History of Islamic
Law, (New Delhi: Cambridge House, 2005), hal. 165
[2] Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqhi al-Amin, (Damascus: University of
Damascus Press, 1959), jilid 2, hal. 933
[3] Ali Hayder, Durar al-Hukkam Sharh Majallat al-Ahkam al-Adliyah,
(Beirut: Daar al-kutub alilmiyyah), n. d. hal. 17
[4] Salim Rustum Baz, Sharh
majjalah, (Beirut: Daar al-kutub al-Ilmiyyah), n. d. vol. 1, hal. 17
[5] Muhammad Amin Ubadah, Tarikh al-Fiqh Islami, (Cairo: Dar
al-Tiba’ah, 1395), 2nd edition, vol. 1, hal. 107
[6] Muhammad b. Ahmad Al-Maqqari, Al-Qawaid, (Makkah: Umm al-Qura
University), n.d. hal 107
[7] Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi
Bisnis, (Bogor: Ulul Albab Institut, 2010), hal. 9
[8] Ibid. hal 11
[9] Ibid. hal 23
[10] Ibid. hal 47
[11] Ibid. hal 75
[12] Ibid. hal 76
[13] Ibid. hal 77
[14] Ibid. hal 79
[15] Ibid. hal 99
[16] Ibid. hal 117
[17] Ibid. hal 118
0 komentar:
Posting Komentar
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarkatuh,,,
Mohon teman2 yang mengunjungi blog ini untuk meninggalkan sepatah dua patah kata pada blog ini. Syukron