06 April 2013

I.       PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan oleh Allah SWT. Di dalam berinteraksi antar sesamanya selalu mempunyai hubungan dan tidak bisa sendiri-sendiri. Manusia sangat bergantung sekali dengan manusia lainnya atau butuh teman, kawan atau makhluk lain maka manusia tidak bisa hidup tanpa berhubungan dengan orang lain. Bagaimana kalau seorang manusia mau makan tentu dia butuh beras untuk dimasak maka tentu dia harus membelinya di pasar atau dia harus menanamnya maka dia perlu bibit dan pupuk yang diperoleh dari orang lain.

Di dalam berhubungan antar manusia sangat dibutuhkan aturan-aturan. Selain aturan itu datang dari Allah SWT dan Sunnah RasulNya diperlukan juga bahan-bahan yang lain, yang intinya mendatangkan kebaikan bagi manusia.
Hubungan yang dimaksud juga berarti saling bertransaksi dan dalam setiap kegiatan kehidupan atau ekonomi sangat memerlukan transaksi. Dalam ekonomi ada yang kita kenal dengan Transaksi Keuangan. Segala aspek aktifitas ekonomi memerlukan transaksi keuangan. Karena label ekonomi kita telah berubah menjadi ekonomi Islam maka dalam transaksi keuangan mutlak diperlukan transaksi yang Islami dan diridloi oleh Allah SWT. Maka Transaksi Keuangan itu harus mempunyai landasan yang kuat dan benar. Berasal dari sumber yang haq dan tayib. Aturan itu harus mempunyai rujukan hukum yang jelas. Dari semua rujukan hukum itu maka secara penamaan kita namakan kaidah fiqh atau hukum syariat yang jelas. Dalam bertransaksi keuangan hendaklah ada kaidah fiqh yang kita pakai agar transaksi itu syah dan tayib tadi.
Pembahasan makalah ini sesuai dengan judul yang diperoleh dari Dosen Pembimbing maka dibatasi hanya terhadap tentang Qaidah Fiqh dan Qaidah Ushuliyah serta perbedaannya, Niat dan Motivasi dalam Kontrak yang harus benar, Konsep Menghilangkan Mudharat yang harus dikedepankan, Aturan Relaksasi Hukum yang tidak memberatkan, Status Adat yang masih relevan untuk dapat dipakai dan Keyakinan versus Keraguan. Jadi ada enam sub pokok pembahasan yang akan kami uraikan dalam makalah ini yang akan menambah wacana kita semakin jelas dan lebih mengerti lagi tentang ekonomi Islam.
II.    PEMBAHASAN
A.     Qaidah Fiqh dan Qaidah Ushuliyah
Qawaid Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh) atau kaidah-kaidah hukum Islam menempati posisi yang sangat penting dalam literatur Hukum Islam. Ia merupakan bentuk khusus literatur Hukum yang berkembang pada abad ke 13 hingga abad ke 15, yang mencoba meringkas aturan-aturan dari setiap mazhab ke dalam ringkasan-ringkasan pendek sehingga orang yang mempelajari kaidah-kaidah ini dapat dengan mudah menghafalnya. Dalam bentuk ekstrim, begitu ringkasnya satu mazhab dapat direduksi menjadi empat atau lima pernyataan padat.[1]
Sedangkan definisi dari Qawaid Fiqhiyyah dapat kita temukan dari pandangan para ulama fiqh yang terkenal dan di antaranya adalah : Syekh Mustafa Ahmed Zarqa seorang ulama fiqh terkemuka mendefinisikan qawaid fiqhiyyah sebagai : “Prinsip-prinsip fiqh universal yang dirumuskan ke dalam bentuk hukum yang padat, melambangkan ketentuan-ketentuan umum terhadap kasus-kasus yang berada di bawah topik-topik tertentu”.[2] Ali Hayder, seorang yang terkenal karena uraiannya (syarahnya) terhadap Al-Majallah telah mendefinisikannya sebagai : ”Aturan menyeluruh atau utama yang dibutuhkan untuk mengetahui hal-hal khusus”.[3] Salim Rustum Baz, pensyarah Majallah lainnya telah mendefinisikannya sebagai : “Aturan menyeluruh atau utama yang dapat diterapkan pada semua atau sebagian besar kasus-kasus khusus”.[4] Muhammad Anis Ubadah menawarkan bahwa “Qawaid Fiqhiyyah adalah konsep universal di mana ketetapan-ketetapan dari berbagai perkara hukum yangb berada di bawah konsep universal tersebut diturunkan”.[5] Penulis kontemporer lainnya mendefinisikan Qawaid Fiqhiyyah sebagai “suatu prinsip umum di mana ketentuan-ketentuan khusus dapat langsung diketahui”.[6]
Sementara itu fungsi utama dari ilmu Qawaid Fiqhiyyah dari seluruh aturan-aturan yang universal dan menyeluruh tersebut diidentifikasi, dikonsolidasi dan dikelompokkan menjadi aturan-aturan yang tematik atau sesuai dengan fungsi masing-masing aturan itu sebenarnya atau dengan kata lain aturan yang sifatnya umum bisa dikhususkan untuk topik-topik tertentu.
      Sedangkan status hukum Qawaid adalah merupakan bantuan hukum yang bisa menjadi pedoman bagi ahli-ahli hukum dalam mengeluarkan suatu fatwa atau oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara sepanjang tidak melenceng dari Alquran, Sunnah Rasul atau prinsip-prinsip umum hukum Islam.
Perbedaan antara Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah (Qaidah Fiqh) adalah, Ushul Fiqh menaruh perhatian utama pada aturan-aturan menterjemahkan teks hukum dan metodelogi yang diikuti untuk menurunkan suatu aturan dari teks hukum. Ushul Fiqh merupakan suatu metode yang diterapkan untuk menurunkan aturan-aturan umum dari sumber-sumber asli. Misalnya, aturan “Amr (Komunikasi dalam bentuk perintah) merupakan kewajiban” adalah suatu qaidah ushuliyah. Semua amalan wajib seperti mendirikan sholat, membayar zakat dan memenuhi perjanjian diturunkan dari aturan ini. Aturan itu diterapkan pada semua perbuatan yang status hukumnya wajib dalam Islam.
Di sisi lain, Qawaid Fiqhiyyah diekstrapolasi dari ketentuan-ketentuan fiqh dan menitik beratkan pada upaya mengidentifikasi analogi hukum dan mengelompokkannya ke dalam judul yang sesuai. Aturan “Suatu yang membahayakan harus dihilangkan” misalnya adalah kaidah fiqh yang memasukkan semua ketentuan dalam hukum Islam di mana menghapuskan hal-hal yang membahayakan dititikberatkan oleh syariah seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan kompensasi terhadap pengrusakan harta seseorang, hukum mengganti kerugian, hukum Qisas, Hukum pre-emption (dalam istilah fiqh disebut “Syuf’ah” yaitu hak prioritas untuk membeli terlebih dahulu), likuidasi, hak membatalkan kontrak dan lain-lain.[7]
Selain Qawaid ada juga istilah Dabitah. Dabitah adalah memfokuskan penerapannya dalam topik-topik yang induvidual. Sementara Qawaid atau Qaidah adalah satu aturan yang umum yang dapat diterapkan pada semua spesifikasi yang terdapat dalam beberapa bab Fiqh. Misalnya ada Kaidah “Suatu perbuatan dinilai dari niat di balik perbuatan itu” yang diterapkan pada berbagai bidang seperti ibadah, transaksi, hukum kriminal dan lain-lain.
Sumber dan asal Qawaid dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori :
1.      Qawaid yang diturunkan dari teks Alquran dan Hadis Rasulullah SAW. Contohnya, kaidah ‘Dasar dari segala perbuatan adalah maksud perbuatan tersebut” diturunkan dari hadist yang terkenal : “Innamal A’malu binniyat (yang artinya : “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya)”.[8] Begitu juga dengan kaidah “Kesulitan dapat memunculkan kemudahan” didasarkan pada sejumlah ayat Alquran yang memberikan suatu kemudahan ketika mengalami keadaan sulit. Seperti tercantum dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 185 yang berbunyi :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ ﴿١٨٥﴾
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Dan Surat Al-Hajj ayat 78 yang berbunyi :
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ مِن قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيداً عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ ﴿٧٨﴾
078. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.
2.      Qawaid yang aslinya adalah hadist Rasulullah SAW, namun kemudian lebih dikenal sebagai kaidah-kaidah hukum antara lain :
a.       Siap menerima untung berarti siap menerima rugi
الخراج بالضمان
b.      Setiap hutang yang membawa keuntungan bagi yang meminjamkannya adalah Riba
كل قرض جر نفعا فهؤ ربا
c.       Jangan menjual apa yang tidak engkau miliki
لاتبع ما ليس عند ك
3.      Qawaid yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan fiqh, tersebar dalam beberapa bab berbeda pada kitab-kitab fiqh.
4.      Qawaid yang berasal dari Ushul Fiqh (yaitu prinsip-prinsip hukum Islam) yang diturunkan oleh ulama fiqh yang berasal dari ketentuan Alquran dan Sunnah antara lain contohnya :
a.       “Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keragu-raguan” atau Istishab yang terkenal dalam hukum Islam
اليقين لا يزول بالشك
b.      “Adat kebiasaan itu merupakan hakim” atau prinsip Urf
العادة محكلمة
c.       Ijtihad tidak berlaku apabila adan nushush (teks Alquran atau Hadist yang menjelaskan hukum itu)
الاجهاد لاينقض بمله
B.     Niat dan Motivasi dalam Kontrak
Dalam melakukan kerjasama atau transaksi hendaklah kita mulai dengan niat yang baik. Apabila niat itu selaras dengan niat Allah atas transaksi itu maka perbuatan tersebut menjadi sah, tetapi apabila niat itu tidak selaras dengan niat Allah maka perbuatan tersebut tidak sah.
Niat dan motivasi menentukan sifat dasar yang sebenarnya dari suatu akad, disamping menentukan status hukum dalam hal sah atau tidak sahnya suatu perbuatan. Sehingga ketika suatu hadiah atau donasi yang diberikan bertentangan dengan beberapa ketentuan maka akad itu akan berubah menjadi akad jual-beli dan bukan lagi akad hadiah walaupun namanya Hadiah atau Donasi. Begitu juga dengan akad hawalah (pendelegasian hutang). Jika orang yang berhutang masih memliki kewajiban untuk melunasi hutangnya disamping orang yang menggantinya, maka akad tersebut jatuh pada akad Kafalah meskipun nama akadnya Hawalah. Sama halnya dalam kerjasama Mudharabah jika ada ketentuan yang menyatakan bahwa pihak yang menyediakan modal akan memperoleh semua keuntungannya maka akad itu disebut Mudharabah tapi akad hutang.[9]
Sebagai contoh dari suatu kontrak ditentukan oleh tujuan dan maksud kontrak tersebut adalah giro di bank komersial. Para ulama kontemporer memperlakukan giro sebagai suatu kontrak hutang daripada kontrak wadiah atau amanah disebabkan karena kontrak wadiah harus memenuhi syarat bahwa sebagai titipan di tangan orang yang dipercaya dengan tujuan menjaga keamanan dan tidak ada keharusan suatu kewajiban atau misalnya apabila barang yang dititipkan itu rusak bukan karena kecerobohan maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya, kemudian adalah bahwa titipan tersebut tidak dapat dipakai oleh orang yang menerima amanah tersebut. Tetapi apabila barang wadiah tersebut dipakai oleh si pemegang amanah dengan seizin yang punya maka kontrak wadiah berubah menjadi kontrak hutang, kontrak agensi atau kontrak kerjasama.
Dan bagaimana dengan giro pada di Bank Syariah ? Ternyata hal yang ditemukan adalah sangat kontras dari prinsip Wadiah yakni sebagai berikut :
1.      Bank Syariah menggunakan uang yang dititipkan dan tidak berlaku dalam kasus Wadiah.
2.      Bank Syariah mencampur adukkan uang titipan itu dengan tabungan yang lain.
3.      Bank Syariah selalu menjamin pengembaliannya dengan aman, atau bank menanggung semua kewajiban dan resiko terkait uang yang dititipkan.
4.      Bank Syariah tidak mengembalikan uang yang sama tetapi uang lain dalam jumlah yang sama.
Oleh karena giro membentuk hubungan pemberi hutang dan penghutang antara nasabah dan bank maka tidak dibolehkan bagi bank untuk memberikan layanan ekstra kepada nasabah karena hal itu dihitung sebagai Riba. Hal ini telah dilarang dalam suatu prinsip yang terkenal : ‘Setiap hutang yang memberikan manfaat adalah Riba”. Dalam konteks transaksi hutang, uang jasa yang diberikan kepada pemberi hutang dapat membuka pintu untuk riba. Jadi atas dasar prinsip Sadd al-dara’i (Menutup segala cara yang membuka pintu kemungkaran) hal ini harus dihindari.
Beberapa kontrak yang tidak dibenarkan adalah sebagai berikut :
1.      Bay’ al Inah; adalah menjual barang secara kredit dengan harga tertentu dan kemudian membelinya kembali secara kontan dengan harga yang lebih murah dari harga kredit, di mana kedua transaksi terjadi pada waktu yang bersamaan.
2.      Tawaruq; adalah suatu transaksi di mana seorang yang membutuhkan uang membeli suatu barang secara kredit dari orang tertentu dan kemudian menjualnya ke pasar secara kontan dengan harga di bawah harga beli sebelumnya dari pemilik barang.
3.      Bay’ bil Wafa; merupakan transaksi di mana seseorang yang membutuhkan uang menjual suatu barang kepada pembeli dengan syarat kapan saja si penjual mau maka si pembeli tadi harus mengembalikan barang yang dibelinya kepadanya dengan harga pembelian semula.
4.      Hiyal; alat/strategi hukum yaitu menghilangkan hak atau menguatkan yang salah yang pada sisi lain selalu digunakan dengan niat dan tujuan untuk menghindari larangan syariah.
5.      Sadd Al-Dara’i; mencegah atau menutup proses yang tujuannya haram atau dilarang yang sebenarnya merupakan pencegahan suatu kemungkaran sebelum terjadi. Persoalan niat untuk memperoleh hasil tertentu tidak dapat menimbulkan hasil tersebut
C.     Konsep Menghilangkan Mudharat
Ketentuan-ketentuan ini pada umumnya berfungsi sebagai tindakan pencegahan terhadap kemungkinan terjadinya mudarat dan mencegah mudarat itu sebelum terjadi. Dan beberapa penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut :
1.      Hukum Pencegahan (Hajr)
Hukum Islam telah membuat batasan-batasan terhadap muatan-muatan akad dari suatu pihak yang memiliki karakter membahayakan orang lain dan batasan-batasan terhadap transaksi yang kemungkinkan besar membahayakan orang lain. Tindakan mencegah seseorang dari transaksi tersebut disebut hajr dalam hukum Islam. Hajr adalah mencegah orang tertentu dari menyia-nyiakan hartanya. Hukum pencegahan diwajibkan syariah untuk menyelamatkan hak dan kepentingan masyarakat yang diakibatkan oleh karakter orang-orang tertentu.[10] Alasan-alasan penting dari pencegahan tersebut adalah : 
a.       Safah atau pemborosan dalam hukum Islam merujuk pada penyalahgunaan harta seseorang yang berlawanan dengan akal dan syariah dengan cara menghabiskannya tanpa tujuan yang benar atau menggunakan harta secara berlebihan di luar kebutuhan meskipun realitasnya rasional bagi orang tersebut.
b.      Orang yang mengalami penyakit yang mematikan dilarang melakukan transaksi atas seluruh harta yang dimilikinya karena dia harus memikirkan kepentingan ahli warisnya. Sebagai contoh transaksi searah yang dilakukannya adalah memberikan donasi, waqaf, infaq dan sedekah yang hanya dibatasi pada sepertiga dari hartanya. Dan jika dia mempunyai hutang maka dilarang melakukan donasi karena harta yang ditinggalkannya itulah sebagai pembayar hutangnya kelak. Dan untuk transaksi dua arah (timbal balik) maka terlarang untuk membatalkannya karena kepentingan sang pasien lebih utama daripada kepentingan ahli waris.
c.       Orang yang telah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan maka terlarang baginya untuk mempergunakan hartanya karena hartanya itu adalah untuk melindungi hak kreditor (pemberi piutang) dan mencegah membuat transaksi yang membahayakan kreditor.
2.      Law of Pre-emption
Tujuan utama mengakui hak pre-emption adalah untuk menhindari berbagai bahaya yang dapat terjadi pada pemilik atau tetangga dengan masuknya orang ketiga dari luar. Hak Pre-Emption mempunyai dasar justifikasi :
a.       Kesulitan dan ketidaknyamanan dari suatu kepemilikan bersama lebih dipentingkan daripada pembeli asing (pihak luar) dan merelakan orang asing masuk boleh jadi membuat partner kita meninggalkan hartanya karena ketidaknyamanannya.
b.      Konsepsi demokrasi dalam hukum waris cenderung untuk membagi-bagi harta keluarga maka hak pre-emption untuk mencegah kejahatan yang timbul karena membagi-bagikan harta tersebut.
c.       Sharaya-ul-Islam dimana pembagi-bagian akan menyebabkan kerugian dan kerusakan.
d.      Hedaya adalah memberikan hak untuk mencegah ketidaknyamanan yang timbul
3.      Melanjutkan Kontrak Bagi Hasil Sampai Masa Panen Tiba
Kontrak tersebut tetap berlanjut walau salah satu atau kedua belah pihak meninggal dunia. Hal ini untuk mencegah terjadi kemudaratan.
4.      Kewajiban Pekerja Tempahan
Bahwa para pekerja tetap harus memenuhi kewajibannya sampai pekerjaan selesai dan wajib mengganti apabila terjadi kerusakan.
5.      Penalti/denda atas gagal bayar dalam pembiayaan Murabahah
Untuk mencegah atau menghilangkan kemudharatan ada beberapa ketentuan yaitu : pertama; Khiyar al-‘ayb (hak untuk membatalkan kontrak karena barangnya cacat), kedua; Khiyar al-gabn (hak untuk membatalkan kontrak karena penipuan), ketiga; Penghentian kontrak karena beberapa keadaan.
D.    Aturan Relaksasi (Keringanan) Dalam Hukum Islam
Hukum-hukum syariah didasarkan atas kenyamanan, keringanan dan menghilangkan kesulitan dari masyarakat. Syariah telah memperhatikan keadaan khusus di mana suatu penderitaan harus diatasi dalam rangka menyediakan kemudahan bagi mereka yang berada dalam kesulitan.[11]
Kaidah ini menyatakan bahwa dalam kasus tertentu, demi menjaga kepentingan dasar dan kebutuhan masyarakat, hukum asal yang ketat, yang menyebabkan kesulitan yang sulit dibayangkan dapat diringankan. Dalam keadaan mendesak, keluasaan diperbolehkan. Dan kaidah ini mencakup semua  keadaan yang memerlukan suatu konsensi hukum dari hukum asalnya, agar pemenuhan kewajibaan dapat terlaksana dan dalam kapasitas seorang manusia normal.[12]
Kaidah ini dapat juga diterapkan pada semua konsensi hukum yang didasari oleh sebab-sebab seperti perjalanan, sakit, tekanan, kelalaian, kesulitan umum (‘umum a-balwa), cacat fisik dan lupa. Secara umum, kaidah ini membolehkan keringanan dari aturan asal dalam kasus darurat dan kebutuhan (hajat).[13] Kaidah ini meliputi : Keadaan darurat dan kebutuhannya serta keadaan Hajat (kebutuhan) dan akibatnya.
Keadaan darurat terbagi menjadi dua yaitu :
1.      Darurat dalam pengertian khusus; merupakan suatu kepentingan esensial yang jika tidak dipenuhi, dapat menyebabkan kesulitan yang dahsyat yang membuat kematian.­­­ Untuk mengilustrasikan hal ini, dapat diambil contoh daging babi yang dilarang bagi seseorang muslim untuk memakannya. Jika seseorang yang sekarat karena kelaparan mengikuti larangan ini dan menjaga diri dari tidak memakan babi atau bangkai, dia bisa mati kelaparan. Jadi memakan babi bagi seorang yang sekarat karena kelaparan dibolehkan atas dasar kebutuhan yang mendesak.[14]
2.      Darurat dalam pengertian umum ini pengertiannya lebih luas merujuk pada suatu yang esensial untuk melindungi dan menjaga tujuan-tujuan syariah. Dapat diamati bahwa perhatian utama dari defenisi darurat menurut Syatibi adalah untuk melindungi tujuan-tujuan dasar syariah, yaitu :
a. Menjaga dan melindungi agama,
b. Menjaga dan melindungi nyawa,
c. Menjaga dan melindungi keturunan,
d. Menjaga dan melindungi akal,
e. Menjaga dan melindungi kesehatan,
f. Menjaga dan melindungi kemuliaan serta kehormatan diri.
Jadi, menurut defenisi ini, segala sesuatu yang membantu merealisasikan tujuan-tujuan dasar syariah ini adalah darurat. Dan darurat harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut yaitu :
a.       Darurat harus nyata, bukan spekulatif dan imajinatif
b.      Tidak ada solusi lain yang ditemukan untuk mengatasi penderitaan kecuali keringanan itu
c.       Solusi harus tidak menyalahi hak-hak sakral yang memicu pembunuhan, pemurtadan, perampasan harta atau bersenang-senang dengan sesama jenis kelamin
d.      Harus ada justifikasi kuat melakukan keringanan
e.       Harus benar-benar hanya itulah solusi yang tersedia
3.      Keadaan Hajat dan Akibatnya. Sama dengan darurat yaitu hajat yang menerapkan keringanan terhadap hukum asal dan memberikan alasan untuk berbeda darinya. Hajat terdiri dari dua jenis, hajat amah dan hajat khassah. Syatibi mendefenisikan hajat sebagai suatu kepentingan yang kalau dipenuhi akan menghilangkan kesusahan dan kesulitan, dan kalau tidak dipenuhi akan membuat hilangnya tujuan-tujuan yang dimaksud. Jadi, jika jenis kepentingan ini tidak dipenuhi, maka segala sesuatu yang terkait dengan aturan-aturan syariah pada umumnya akan mengalami kesulitan dan kesusahan, tapi hal ini tidak dianggap sebagai penyebab kekacauan yang diprediksi sebagai hasil dari tidak terpenuhinya kepentingan yang esensi ini. Contoh kebutuhan yang selangkah lebih maju dari derajat kebutuhan adalah bolehnya kontrak salam ( pembelian barang dengan uang di muka dan pengiriman barang belakangan ), Istisna’ (kontrak memproduksi suatu barang atas dasar pesanan), bay’ bil wafa’ (penjualan dengan hak penebusan), pinjaman, ijarah dan lain-lain.
E.     Status Adat
Adat kebiasaan memberikan suatu dasar (dalil) bagi keputusan pengadilan di mana seorang hakim mempunyai alternatif dalam menghakimi suatu perkara. Adat kebiasan ini juga memberikan bantuan dan bimbingan interpretasi yang menolong seorang hakim untuk menginterprestasikan ketentuan-ketentuan hukum dari Alquran dan Sunnah.[15] Misalnya untuk memastikan, besarnya perbedaan antara harga pasar dengan harga aktual dalam suatu transaksi khusus, didasarkan pada praktik perdagangan dan masyarakat yang terlibat dalam transaksi serupa.
Ulama Fiqh terdahulu membingkai sejumlah hukum yang telah dipertimbangkan atas dasar kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat pada zamannya. Beberapa dari hukum-hukum itu diganti oleh ulama fiqh belakangan, ketika mereka menemukan bahwa kebiasaan yang mereka dasarkan atasnya tidak ada lagi.
Misalnya, zaman terdahulu gandum dan jelai diukur dalam istilah Mudd  dan Sha’ (dua pengukuran kapasitas benda). Tapi, sekarang gandum dan jelai itu diukur beratnya secara umum. Jadi, perhitungan apapun, apakah untuk dagang, pembayaran ushr, sedekah, atau kafarat, semuanya dilakukan dalam bentuk satuan berat yang umum dipakai.
‘Urf juga memiliki peranan dalam riba al-fadl. Riba al-Fadl adalah suatu kelebihan yang dihasilkan melalui kriteria syariah (yaitu pengukuran atau berat). Dalam hukum Islam klasik, jika dua pihak menukar satu mudd gandum dengan dua mudd gandum, mereka dikatakan telah melakukan Riba al-Fadl. Tapi sekarang, sejak gandum diukur dengan berat, maka Riba al-Fadl akan terjadi hanya ketika, katakan 5 kg gandum ditukar dengan 8 kg gandum. Seperti itulah ulam fiqh menerjemahkan kriteria syariah dalam defenisi di atas berkenan dengan pengukuran kapasitas.
 Pada masa lalu, jual-beli hak-hak yang abstrak dan harta yang tidak berwujud dilarang oleh ulama fiqh. Namun sekarang, praktik perdagangan telah berubah. Hak-hak yang abstrak dan tidak berwujud seperti hak cipta, hak paten, dan lain-lain, diberlakukan sebagai komoditi yang dapat diperjual belikan. Ulama Fiqh modern telah menetapkan bahwa hak-hak ini dapat dijual dan dibeli seperti harta berwujud lainnya.
F.      Keyakinan Versus Keraguan
Aturan dengan keyakinan versus keraguan dan pandangan untuk meneruskannya, yang dinyatakan oleh kaidah, mencakup semua kasus di mana suatu konflik  antara keberadaan sesuatu di masa lalu dan keraguan akan keberlangsungannya. Kaidah ini menyatakan bahwa aturan hukum dari sesuatu yang dibangun dengan sebuah keyakinan akan terus berlanjut, dan keraguan tidak akan mempengaruhi kedudukannya, karena kedudukan yang telah dibangun itu adalah suatu pernyataan kepastian, dan pandangan yang merubah kedudukan itu (keraguan) akan ditiadakan atau dihapuskan.[16]
            Para pemikir muslim telah mengelompokkan derajat pembuktian dalam persoalan keyakinan versus keraguan ini ke dalam 5 kategori: yaqin (yakin), ghalabatudz-dzann (berprasangka kuat), zann (prasangka), syak (ragu-ragu), dan wahm (bisikan hati). Mereka membolehkan menyandarkan praktik hukum-hukum syariah pada tiga kategori pertama. Konssep kepastian telah tercantum dalam kaidah dasar dan sejumlah kaidah pelengkap.
            Makna dari kaidah dasar yang disebutkan diatas, bahwa begitu sesuatu didasarkan atas keraguan, maka hal itu, hanya bisa dibatalkan melalui bukti tertentu yang seimbang. Atas dasar prinsip ini, harta waris tidak dapat dituntut dari seorang yang hilang, karena dugaannya ia masih hidup sepanjang tidak ada bukti yang menyatakan bahwa ia sudah meninggal dunia. Disini, dalam kasus ini, hidupnya orang-orang yang hilang dibangun dari fakta, yang tidak dapat ditolak hanya berdasarkan keraguan dan kematiannya. Oleh karena itu, hartanya tidak dapat dibagikan kepada ahli warisnya berdasar keraguan ini. Jika terdapat bukti yang menyatakan ia meninggal dunia, maka hartanya dapat diwariskan kepada kerabatnya.[17]
 
III.  KESIMPULAN
Hukum Islam (Fiqh) adalah satu dari sistem hukum yang sangat berkembang dalam sejarah manusia, baik dalam hal kedalamannya maupun keluasan aplikasinya. Fiqh menduduki tempat yang penting dalam budaya hukum ummat manusia secara keseluruhan . Tidak seperti banyak tradisi hukum lainnya, Fiqh telah memulai sistemasi hukum dan formulasi kaidah-kaidah hukum-hukumnya sendiri pada awal mula dari tahap perkembangannya.
Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi, hukum Islam (Fiqh) ini merupakan salah satu dari aspek muamalah dari sistem Islam, sehingga kaidah fiqih yang digunakan dalam mengidentifikasi transaksi-transaksi ekonomi juga menggunakan kaidah fiqih muamalah. Kaidah fiqih muamalah adalah “al ashlu fil mua’malati al ibahah hatta yadullu ad daliilu ala tahrimiha” (hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya). Ini berarti bahwa semua hal yang berhubungan dengan muamalah yang tidak ada ketentuan baik larangan maupun anjuran yang ada di dalam dalil Islam (Alquran maupun Hadist), maka hal tersebut adalah diperbolehkan dalam Islam.
Kaidah fiqih dalam muamalah yang ditulis di atas memberikan arti bahwa dalam kegiatan muamalah yang notabene urusan ke-dunia-an, manusia diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja yang bisa memberikan manfaat kepada dirinya sendiri, sesamanya dan lingkungannya, selama hal tersebut tidak ada ketentuan yang melarangnya. Kaidah ini didasarkan pada Hadist Rasulullah yang berbunyi: “antum a’alamu bi ‘umurid dunyakum” (kamu lebih tahu atas urusan duniamu). Bahwa dalam urusan kehidupan dunia yang penuh dengan perubahan atas ruang dan waktu, Islam memberikan kebebasan mutlak kepada manusia untuk menentukan jalan hidupnya, tanpa memberikan aturan-aturan kaku yang bersifat dogmatis. Hal ini memberikan dampak bahwa Islam menjunjung tinggi asas kreativitas pada umatnya untuk bisa mengembangkan potensinya dalam mengelola kehidupan ini, khususnya berkenaan dengan fungsi manusia sebagai khalifatul-Llah fil ‘ardlh (wakil Allah di bumi).
Efek yang timbul dari kaidah fiqih muamalah di atas adalah adanya ruang lingkup yang sangat luas dalam penetapan hukum-hukum muamalah, termasuk juga hukum ekonomi. Ini berarti suatu transaksi baru yang muncul dalam fenomena kontemporer yang dalam sejarah Islam belum ada/dikenal, maka transaksi tersebut “dianggap” diperbolehkan, selama transaksi tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip yang dilarang dalam Islam.

 

[1] Knut S. Vikor, Betwen God and Sultan, A History of Islamic Law, (New Delhi: Cambridge House, 2005), hal. 165
[2] Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqhi al-Amin, (Damascus: University of Damascus Press, 1959), jilid 2, hal. 933
[3] Ali Hayder, Durar al-Hukkam Sharh Majallat al-Ahkam al-Adliyah, (Beirut: Daar al-kutub alilmiyyah), n. d. hal. 17
[4] Salim Rustum Baz,  Sharh majjalah, (Beirut: Daar al-kutub al-Ilmiyyah), n. d. vol. 1, hal. 17
[5] Muhammad Amin Ubadah, Tarikh al-Fiqh Islami, (Cairo: Dar al-Tiba’ah, 1395), 2nd edition, vol. 1, hal. 107
[6] Muhammad b. Ahmad Al-Maqqari, Al-Qawaid, (Makkah: Umm al-Qura University), n.d. hal 107
[7] Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor: Ulul Albab Institut, 2010), hal. 9
[8] Ibid. hal 11
[9] Ibid. hal 23
[10] Ibid. hal 47
[11] Ibid. hal 75
[12] Ibid. hal 76
[13] Ibid. hal 77
[14] Ibid. hal 79
[15] Ibid. hal 99
[16] Ibid. hal 117
[17] Ibid. hal 118

0 komentar:

Posting Komentar

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarkatuh,,,
Mohon teman2 yang mengunjungi blog ini untuk meninggalkan sepatah dua patah kata pada blog ini. Syukron