Identitas Buku :
Judul
Buku : Negative Learning
Penerbit
: PT. Era Adicitra Intermedia
Penulis
: Masruri
Halaman
:199 Halaman
Tebal
:13 X 19,5 Cm
Kita mengira anak kita menurut
Padahal sesungguhnya mereka takut
Kita mengira anak kita hanya diam
Padahal sesungguhnya mereka memendam dendam.
Kita mengira anak kita ‘nakal,
Padahal sesungguhnya mereka hanya ‘kelebihan’ akal.
Kita mengira anak kita lari’,
Padahal sesungguhnya mereka hanya minta kita peduli
Padahal sesungguhnya mereka takut
Kita mengira anak kita hanya diam
Padahal sesungguhnya mereka memendam dendam.
Kita mengira anak kita ‘nakal,
Padahal sesungguhnya mereka hanya ‘kelebihan’ akal.
Kita mengira anak kita lari’,
Padahal sesungguhnya mereka hanya minta kita peduli
Di
zaman seperti saat ini banyak anak yang malas untuk belajar. Begitu mendengar
kata “belajar”, anak-anak pasti segera mencari berbagai alasan untuk
menghindar, akibatnya belajar hanya akan menjadi rutinitas yang kepepet untuk
dilakukan dan tentu bukan menjadi rutinaitas yang digemari. Anak-anak akan
lebih suka bermain dengan teman-teman, bermain komputer atau internet (seperti
facebook, twitter dan lain-lain) atau bermain video game dari pada belajar,
sebab bagi mereka belajar merupakan sesuatu yang membosankan.
Melihat
fenomena yang ada, anak yang dipinta untuk belajar hanya akan membuka buku dan
membaca atau mengerjakan PR (Pekerjaan rumah) lantas kemudian ditutup dan
ditinggalkan, apabila ditanya sudah belajar apa belum? maka jawabannyapun
sudah. Apakah belajar itu memang hanya membaca sekilas dan mengerjakan PR? jika
demikian bagaimana pengetahuan anak bisa bertambah, bagaimana pelajaran sekolah
anak bisa terserap, selanjutnya tidak jarang suasana hati dalam belajar menjadi
hilang sehingga anak menjadi malas untuk belajar.
Pemikiran
anak terbentuk dari asumsi-asumsi yang diambil berdasarkan informasi-informasi
ataupun pengalaman yang dialami anak tanpa dikritisi terlebih dahulu. Ini
mengabarkan pada kita bahwa sebagai masyarakat terdidik kita harus menilik
kembali pada cara pandang kedua orang tua, guru, dan lingkungan sekitarnya agar
pemahaman anak yang secara parsial patut diarahkan dan patut dipahami untuk
kemudian ditindak lanjuti dengan bijak.
Salah
satu hal yang sering menghambat anak rajin belajar adalah pandangan ideal kedua
orang tua atau guru terhadap kenyataan yang ada pada diri anak. Umumnya kebanyakan
orang tua atau guru hanya memandang sisi kekurangan dari anak. Padahal
kesuksesan seorang anak tergantung pada bagaimana kita memandang dan meyakini
kelebihan dan kekurangan seorang anak, karena dengan begitu sang anak
termotivasi menjadi sukses.
Menghadapi
persoalan anak orang tua atau guru tidak terlepas dari penilaian manusia
sebagai individu yang harus mengerti secara psychologis dan manusia sebagai
makhluk sosial dimana pendidik yang semestinya selalu memberikan respon
edukatif terhadap apapun prilaku anak, sehingga prilaku negatif anak semestinya
dilihat dari perspektif pendidikan yakni sebagai produk dari sebuah
pembelajaran (learning). Dengan demikian tanggapan yang diberikanpun
bersifat mendidik yakni perenungan atas sebab-sebab, serta tindakan yang tepat
untuk menyadarkannya.
Anak
yang hyperaktif belum tentu anak yang nakal, mereka hanya berusaha mencari
jalan untuk mengembangkan kreatifitas mereka bahkan sebaliknya prilaku
kekerasan yang dilakukan anak, boleh jadi dicontohkan oleh orangtuanya atau
bahkan gurunya, yang kemudian mengakibatkan terbentuknya kepribadian anak yang
pemarah, kasar, dan beringas. Anakpun menjadikan kekerasan fisik untuk
menyelesaikan persoalan hidupnya. Dengan demikian, ia menjadi tidak segan
memukul atau menyakiti teman-temannya maupun saudaranya sendiri. Keteladanan
dan dukungan orang tua dan guru perlu terus dikuatkan pada anak, karena
mayoritas waktu anak dihabiskan bersama orang tua dan sekolah.
Selaras
dengan pernyataan diatas Masruri selaku penulis buku menganalisis kritis
terkait cara konsep penanaman nilai yang salah terhadap anak (hal.175).
Analisis dilakukan untuk menjadi sebuah renungan terkait kenyataan-kenyataan
yang kerap kali terjadi di lingkungan sekolah dan keluarga. Penulis buku
berasumsi bahwa prilaku negatif merupakan bagian dari hasil Learning, artinya
jika seseorang melakukan prilaku negatif maka dapat dipastikan pula ada proses Learning
(pembelajaran) yang sadar atau tidak itu akan menjadi contoh bagi anak.
Apa
yang disampaikan oleh Masruri dalam buku tersebut sangat benar adanya karena
gimanapun masa anak adalah masa imitasi terhadap apa yang dilihatnya,
ketidaktahuan mereka terhadap sesuatu cendrung mendorong mereka untuk mencari
tahu bahkan melakukannya. Selaras dengan itu “bahwa usia anak terbagi menjadi
dua masa yakni masa vital dan masa estetik, pada masa vital anak menggunkan
fungsi biologisnya untuk menemukan hal-hal baru yang belum pernah dilakukan
sebelumnya, hal ini dibuktikan dengan banyaknya anak bertanya terhadap sesuatu.
Sedang pada masa estetik anak mulai belajar bereksplorasi melalui apa yang
dilihatnya dan cendrung meniru terhadap apa yang dilihatnya”
Disamping
itu Masruri juga berusaha mengabarkan kepada khlayak bahwasahnya prilaku
negatif sangat memiliki cela untuk memasuki kehidupan pendidikan kita. Hal ini
dijelaskan oleh Masruri pada Bab 4 dimana komunikasi, media massa, bahkan
aturan-aturan yang diterapkan oleh pendidik justru menjadi pintu awal
beranjaknya pembelajaran negatif dalam proses perkembangan anak.
Akan
tetapi ada suatu hal yang harus dipertimbangkan lagi oleh Masruri ketika
memasukan peraturan tanpa teladan ke dalam prilaku hipokrit dan prilaku
pembangkangan, karena benar adanya jika hipokrit atau prilaku semu yang
dilakukan oleh pendidik untuk memberi tauladan kepada peserta didik berpengaruh
kuat ketika realita yang ada bertolak belakang. Begitupun prilaku pembangkangan
bisa timbul karena adanya peraturan yang membuat anak tidak terima ketika
pendidik sekalipun melakukan pelanggaran yang diberlakukan, hanya saja agar
tidak terajadi keambiguan staiment maka perlu kiranya Masruri menganti
redaksional sub bab yang sama agar spesifikasi pembahasan lebih harmonis.
Selanjutnya
Masruri mengungkapkan dengan gamblang tentang sifat-sifat negatif learning yang
kadang kalah tidak disadari kehadirannya, begitupun perbuatan yang terus
menerus terulang kendatipun sadar dan memahami akibat dari prilaku negatif,
akan tetapi menjadi samar karena ketajaman mata hati yang tertutup oleh
tebalnya kabut emosi, yang istimewanya Masruri mencoba memberi pemahaman dalam
pembahasan ini melalui sebuah cerita atau kisah yang dilakukan oleh seorang
takkala bertengkar dengan lawan intraksinya di hadapan anak. Wajar apabila
Masruri menegaskan hal tersebut merupakan pula bagian dari pembelajaran negatif
secara tidak langsung.
Disamping
kelebihan-kelebihan yang ada buku inipun tak lekang oleh kekurangan-kekurangan,
karena menilik pada filosofi ketertarikan antara gula dan semut, dimana ada
gula maka disitupun terdapat semut, sama halnya buku Negatif Learning
ini dimana ada kelebihan maka disitu pulalah terdapat kekurangan.
Buku
ini secara jelas menorehkan tujuan ditulisnya buku ini yakni membongkar
dan membentengi cara komunikasi yang cara serta meluruskan cara pandang guru
dan orang tua terhadap anak. Akan tetapi realita yang ada dalam buku ini
Masruri hanya membongkar serta mendiagnosa kejadian-kejadian yang terjadi dalam
dunia pendidikan, baik yang dilakukan oleh guru di sekolah ataupun yang
dilakukan orang tua di rumah.
Setelah
membaca dari bab ke bab buku ini hanya memberikan tiga solusi saja yakni pada
pembahasan negatif learning melalui media massa (hal.74-80) serta negatif
learning melalui aturan (hal.160-173), sementara untuk bab 6 (bab teakhir)
benar adanya Masruri mencoba memberi informasi untuk menutup negatif learning,
akan tetapi tetap saja masih ada banyak kesalahan-kesalahan yang telah di
bongkar oleh Masruri dalam buku ini yang sangat membutuhkan solusi kogkrit bagi
orang tua dan para guru aga sekiranya dikemudian hari tidak mengulangi
kesalahan yang ada.
Selanjutnya
terlepas dari itu semua tetap kepada bobot yang terkandung dalam buku ini bahwa
buku ini memang pantas menjadi traffic light bagi para pendidik karena
mengingat proses pembelajaran negatif ini berjalan dengan samar seperti angin
yang berhembus menggoyangkan pucuk pepohonan, mudah dilihat akan tetapi sangat
sulit menagkalnya, sehingga buku ini hadir ketangan pembaca sebagai
penunjuk jalan, paling tidak pembaca dapat memperoleh gamabaran tentang model
dan sifat pembelajaran negatif yang kerap kali dilakukan oleh para pendidik
baik itu guru maupun orang tua, yang mana ketika telah mengetahui model dan
sifat pembelajaran negatif maka tidak rentan lagi bagi kita untuk melakukan hal
yang sama pula di kemudian hari. Wallahu a'lam bish showab...
saya sudah baca bukunya dan isinya sangat menarik juga mendidik, penting untuk dijadikan renungan tentang bagaimana meminimalisir negative learning dalam interaksi terhadap paserta didik. lanjutkan!!!
BalasHapus