Apakah yang dapat kita renungkan dari kisah Nabi Nuh dan Nabi Luth ‘alaihimassalaam? Keduanya adalah nabi yang Allah Ta’ala berikan kemuliaan amat tinggi. Keduanya adalah rasul, orang yang diutus Allah ‘Azza wa Jalla untuk menyampaikan risalah agar orang-orang yang ingkar kepada Allah Ta’ala menjadi manusia beriman. Dan seorang nabi, akhlaknya pasti terjaga, imannya sudah jelas luar biasa dan ‘ibadahnya tak perlu kita ragukan.
Mereka
berdua adalah manusia pilihan sepanjang zaman. Jangan tanya kesungguhan
keduanya ‘alaihimassalaam bermunajat kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak mungkin seorang nabi lemah ‘ibadahnya dan rapuh
keyakinannya.Tidaklah mereka berdo’a kepada Allah Ta’ala melainkan
sepenuh keyakinan dan amat besar pengharapannya. Tetapi ini semua tak
mencukupi untuk mengantarkan anak-anak agar menjadi manusia beriman.
Kita belajar dari sejarah agama ini betapa putra kedua Nabi
‘alaihimassalaam ini justru termasuk ahli neraka dengan siksa yang
kekal. Na’dzubillahi min dzaalik.
Mengapa bisa
demikian? Mari sejenak kita renungi firmanAllah Ta’ala, “Allah membuat
istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya
berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang shaleh di antara
hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya,
maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikit pun
dari(siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); ‘Masuklah ke neraka
bersama orang-orang yang masuk (neraka)’.” (QS. At-Tahriim, 66: 10).
Apa
yang dapat kita renungkan dari ayat ini? Ada beberapa hal. Sebagian di
antaranya adalah, betapa kita amat perlu bersungguh-sungguh mendidik
anak-anak kita dan menghindarkan mereka sejauh-jauhnya dari siksa
neraka. Jika hari ini kita tak tega melihat penderitaan mereka di dunia,
lalu merasa amat khawatir dengan “masa depan mereka” sesudah dewasa
nanti, maka tegakah kita membiarkan wajahnya melepuh dibakar api neraka?
Sedangkan seorang nabi pun tak sanggup mengelakkan anaknya dari siksa
neraka jika tak ada iman di hati orang yang amat dicintai tersebut.
Ayat
ini secara jelas menunjukkan kepada kita betapa khianatnya seorang
istri akan meruntuhkan bangunan iman di rumah kita, meski kita tak putus
berdakwah dan tak lelah menyampaikan risalah-Nya. Segenggam iman anak
kita akan terlepas begitu saja jika istri tak satu kata dengan suami.
Ayahnya memang beriman, tapi ibu yang setiap saat mendekap dan
mengasuhnya terlepas dari iman, sehingga anak pun tak sanggup
menggenggam iman kepada AllahTa’ala.
Bayangkan. Mereka
hidup di masa ketika pengaruh dunia luar tak sebanyak sekarang. Ada
tetangga, tapi saling berjauhan jika diukur dari dekatnya tetangga di
zaman kita. Tak ada media massa yang mencecar dengan berbagai hal secara
masif, intensif dan terus-menerus sebagai sekarang. Tak ada internet,
tak ada juga pembantu rumah-tangga maupun lembaga pendidikan formal.
Tetapi ketika ayah dan ibu sudah tidak sejalan, maka segenggam iman di
hatianak tak dapat tumbuh mengakar dengan kuat. Maka, apakah yang dapat
kita renungkan untuk kita hari ini? Apakah yang dapat kita renungkan
tentang anak-anak kita?
Cara paling aman yang dapat
kita lakukan agar anak tak terpapar pengaruh dari luar adalah mendidik
sendiri anak kita di rumah. Tidak mengirim mereka ke sekolah. Tetapi ada
syaratnya. Pertama, kita memang harus benar-benar mengilmui apa yang kita akan ajarkan sekaligus mengilmui bagaimana mengajarkannya kepada anak. Kedua, kita harus dapat menjamin bahwa orang-orang yang tinggal serumah dengan kita juga harus sejalan dan sepaham dengan kita. Ketiga, kita mendidik mereka secara total sehingga anak-anak memperoleh bekal yang mencukupi.
Nah,
pertanyaannya, siapkah kita untuk itu semua? Jika tidak, maka pilihan
kita adalah secara sengaja mengizinkan orang lain mempengaruhi anak kita
melalui sekolah. Merekalah guru-guru yang memang secara khusus belajar
bagaimana mendidik anak. Tetapi ini pun tidak cukup. Jika guru hanya
mengajarkan materi pelajaran, sementara mereka tak punya komitmen yang
tinggi dan kepedulian terhadap iman anak-anak kita, maka jangan terkejut
jika anak-anak fasih berbicara tetapi hampa imannya. Mereka pandai
berbicara tentang agama, tapi tak meyakininya sepenuh jiwa.
Selain
guru, ada sumber pengaruh lainnya yang potensial.Anak pasti akan
bergaul dengan teman-temannya. Mereka berasal dari latar belakang
keluarga yang berbeda-beda. Maka ketika datang ke sekolah, mereka juga
membawa kebiasaan, budaya, cara pandang dan bahkan keyakinan keluarga
kesekolah. Nilai-nilai yang mereka dapatkan dari rumah, akan mereka
tawarkan kepada teman-temannya di sekolah. Saling pengaruh akan terjadi.
Pertanyaannya, kita-kira anak kita termasuk yang mudah terpengaruh
ataukah yang paling banyak mempengaruhi temannya? Kira-kira, pengaruh
baik ataukah buruk?
Pergaulan anak dengan temannya
boleh jadi menguatkan atau sebaliknya melemahkan nilai-nilai yang kita
tanamkan dari rumah maupun yang dibekalkan oleh guru di kelas. Kita
dapat menyalahkan teman-temannya, bahkan orangtua mereka, manakala anak
kita menjadi buruk setelah bergaul dengan teman-temannya. Tapi ada satu
pertanyaan yang perlu kita jawab dengan pikiran jernih dan hati yang
bersih, mengapa teman-temannya dapat meruntuhkan apa yang telah kita
tanamkan? Apakah yang menyebabkan anak lebih mempercayai temannya? Dan
apa pula yang menjadikan perkataan kita lebih dipegangi dengan penuh
rasa hormat.
Secara sederhana, jika anak-anak memiliki
kedekatan emosi yang kuat dengan kita dan melihat kita sebagai sosok
yang jujur, maka anak akan lebih mendengar perkataan kita. Nasehat kita
akan mereka perhatikan. Bahkan jika anak melihat orangtua sebagai sosok
yang mengagumkan, mereka akan berusaha meniru dan menjadikan kita
sebagai panutan. Pun demikian dengan guru, jika anak melihat guru
sebagai figur yang layak dipercaya dan dihormati, pengaruh guru akan
kuat. Karenanya, orangtua dan guru memiliki tugas untuk saling
menguatkan kepercayaan anak terhadap keduanya. Orangtua menumbuhkan
kepercayaan, penghormatan dan ikatan emosi anak terhadap guru. Sementara
guru semenjak awal menanamkan kepercayaan, kecintaan dan keinginan
untuk senantiasa berbuat kebajikan kepada kedua orangtua (birrul walidain).
Ada
tiga kebutuhan psikis anak yang harus kita perhatikan. Jika kebutuhan
ini tak terpenuhi, maka temannya akan lebih berpengaruh daripada
orangtua maupun guru. Jika kebutuhan tersebut hanya terpenuhi di rumah,
maka orangtua akan menjadi figur yang berpengaruh, tetapi anak masih
cukup mengkhawatirkan di sekolah. Pengaruh orangtua akan melekat lebih
kuat jika mampu membangun kedekatan emosi yang kuat sekaligus memenuhi
tiga kebutuhan anak tersebut. Sebaliknya, jika anak tak memperoleh
pemenuhan atas kebutuhannya di sekolah saja, maka guru akan berperan
sangat penting dalam membentuk kepribadian anak. Mereka amat menentukan.
Kuatnya
pengaruh orangtua dan guru bukan berarti anak tak dapat bergaul dengan
temannya. Bukan. Tetapi anak lebih mampu menyaring sesuai nilai yang ia
terima dari orangtua atau guru. Ia pun dapat menjadi sumber pengaruh
bagi temannya.
Lalu apa tiga kebutuhan yang perlu kita
perhatikan tersebut? Pertama, anak perlu menyadari dan meyakini bahwa ia
memiliki kemampuan yang bermanfaat. Kedua, anak mampu menjalin hubungan
yang nyaman dan bermartabat dengan orangtua dan/atau guru. Ketiga, anak
memiliki kebutuhan untuk memiliki peran atau sumbangsih yang berharga,
baik di rumah maupun di sekolah. Nah.
Wallahu a’lambish-shawab.
***
Catatan ini merupakan epilog dari buku "Segenggam Iman Anak Kita"
terbitan Pro-U Media, Yogyakarta yang mulai beredar hari ini, 1 Oktober
2013. Saya tampilkan di sini dengan perubahan pada judul tulisan, semoga
catatan ini bermanfaat. Semoga kita dapat saling mengingatkan,
mendo'akan dan menasehati.
(Sumber : https://www.facebook.com/notes/mohammad-fauzil-adhim/siapa-yang-lebih-didengarkan-oleh-anak-kita/556765281039271 )
0 komentar:
Posting Komentar
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarkatuh,,,
Mohon teman2 yang mengunjungi blog ini untuk meninggalkan sepatah dua patah kata pada blog ini. Syukron