18 Desember 2011


-->
Suatu ketika ada seorang anak mendekat ke ibunya, wajahnya penuh kesedihan. Air mata menetes membasahi kedua pipi mungilnya. Dadanya bergerak cepat. Sungguh sangat kasihan. Dengan pelan ia merapatkan tubuh ke ibunya, tangisannya pun kini mulai pecah. Setelah memeluk, sang ibu mulai mengajaknya bicara. “Ada apa nak? Siapa yang memarahimu? Aku tak ingin engkau sedih begini.”
Si kecil menjawab : “Pak guru mengatakan aku dungu, tidak bermanfaat. Beliau mengatakannya di depan teman-teman kelasku. Dia telah menghinaku bu’. Aku tak mau pergi sekolah lagi.” Bergegas ibunya menyapu air mata yang menderas di pipinya dengan ujung baju. Lalu berkata, “tidak apa-apa anakku. Mereka belum tahu bakat yang engkau miliki. Kecerdasanmu belum mereka lihat. Biarkanlah waktu yang akan membuktikan semua itu kepada mereka.”
Sang ibu mengajaknya bermain, menenangkannya, memotivasi dan mendorongnya. Hingga dia kembali mau berangkat sekolah. Lupa akan penghinaan gurunya.
Suasana berjalan normal. Namun tiga bulan kemudian, wajahnya kembali sedih sepulang dari sekolah. Kini tangis dan kesedihannya makin meledak. Air matanya membeku, tak lagi mau mencair. Pengamat sekolah telah menghinanya.
Melihat itu, sang ibu langsung menggandeng anaknya yang malang itu, menuju sekolah. Untuk sekedar mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Setelah menanyakan perihal kedatangannya, si pengamat menjawab, “Dia anak yang aneh, bodoh. Sekolah kami tidak dibangun untuk anak-anak bodoh sepertinya.”
Bumi ini seakan luluh lantak mengiringi ucapan itu terlepas. Pahit, itulah yang dirasakan sang ibu ketika melihat anaknya yang berusia 6 tahun tiba-tiba cemberut, padam. Dia gandeng pahlawan kecilnya kembali pulang ke rumah. Dia peluk, lalu menusukkan semangat ke dadanya, “Anakku, meski semua manusia di bumi ini menafikan kecerdasanmu. Tapi yakinlah, aku ibumu percaya bahwa engkau bisa. Engkau anak pandai. Biarkan mereka berkata apa-apa, tapi dengarkan aku! Engkau anak terpandai di dunia.”
Tiap pagi menyapa, sang ibu selalu rajin menghujamkan support itu. Kini tidak hanya kalimat, tindakan riil mulai diambilnya. Dia datangkan guru privat untuk mengajarinya di rumah. Tak sedikit uang yang dikeluarkan untuk membeli alat-alat belajar. Tak ada kata capek. Tak ada kata bosan. Kebahagiaan yang lambat laun mulai menghias di wajah anaknya, semakin mendorong sang ibu untuk memberinya lebih.
Kini si kecil tumbuh besar, merambah usia ke 20. Dan kini, namanya menjadi topik andalan yang selalu terdengar pada diskusi-diskusi ilmiah para ilmuwan.
Tahukah anda siapa anak itu? Dia adalah Alfa Edison penemu bola lampu. Yang tanpanya, mungkin dunia akan gelap gulita. Masya Allah

1 komentar:

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarkatuh,,,
Mohon teman2 yang mengunjungi blog ini untuk meninggalkan sepatah dua patah kata pada blog ini. Syukron